Selasa, 09 Maret 2010

Ketika kami tak cocok lagi

Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang
alami dan saya menyukai perasaan yang hangat yang muncul ketika saya
bersender di bahunya yang bidang. Tiga tahun dalam masa kenalan dan
bercumbu, sampai sekarang, dua tahun dalam masa pernikahan, harus
saya akui, saya mulai merasa lelah dengan semua itu.

Alasan saya mencintainya pada waktu dulu, telah berubah menjadi
sesuatu yang melelahkan. Saya seorang wanita yang
sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya
merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak
kecil yang menginginkan permen. Dan suami saya bertolak belakang
dari saya, rasa sensitifnya kurang, dan ketidakmampuannya untuk
menciptakan suasana yang romantis di dalam pernikahan kami telah
mematahkan harapan saya
tentang cinta.

Suatu hari, akhirnya saya memutuskan untuk mengatakan keputusan saya
kepadanya. Saya menginginkan perceraian.

"Mengapa?" dia bertanya dengan terkejut.

"Saya lelah. Terlalu banyak alasan yang ada di dunia ini," jawab saya.

Dia terdiam dan termenung sepanjang malam dengan rokok yang tidak
putus-putusnya. Kekecewaan saya semakin bertambah. Seorang pria yang
bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang saya
bisa harapkan darinya? Dan akhirnya dia bertanya, "Apa yang dapat
saya lakukan untuk mengubah pikiranmu?"

Seseorang berkata, mengubah kepribadian orang lain sangatlah sulit,
dan itu benar. Saya pikir, saya mulai kehilangan kepercayaan bahwa
saya bisa mengubah pribadinya. Saya menatap dalam-dalam matanya dan
menjawab dengan pelan,
"Saya punya pertanyaan untukmu. Jika kamu dapat menemukan jawabannya
yang ada di dalam hati saya, mungkin saya akan mengubah pikiran.
Seandainya, katakanlah saya menyukai setangkai bunga yang ada di
tebing gunung, dan kita berdua tahu, jika kamu memanjat gunung itu,
kamu akan mati. Apakah kamu akan melakukannya untuk saya?"

Dia berkata, "Saya akan memberikan jawabannya besok."

Hati saya langsung gundah mendengar responnya. Keesokan paginya, dia
tidak ada di rumah, dan saya melihat selembar kertas dengan coret-
coretan tangannya, di bawah sebuah gelas yang berisi susu hangat,
yang bertuliskan:

"Sayang, Saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu. Tetapi izinkan
saya untuk menjelaskan alasannya."

Kalimat pertama ini menghancurkan hati saya. Saya mencoba untuk kuat
melanjutkan membacanya kembali...

"Kamu hanya bisa mengetik di komputer dan selalu mengacaukan program
di PC-nya dan akhirnya menangis di depan monitor. Lalu saya harus
memberikan jari-jari saya untuk memperbaiki programnya.

"Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan
saya harus memberikan kaki saya supaya bisa masuk mendobrak rumah,
membukakan pintu untukmu.

"Kamu suka jalan-jalan ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-
tempat baru yang kamu kunjungi: saya harus memberikan mata untuk
mengarahkanmu.

"Kamu selalu pegal-pegal pada waktu 'tamu' kamu datang setiap
bulannya: saya harus memberikan tangan saya untuk memijat
kakimu yang pegal.

"Kamu senang diam di dalam rumah, dan saya kuatir kamu akan
jadi 'aneh'. Lalu saya harus memberikan mulut saya untuk
menceritakan lelucon dan cerita-cerita untuk menyembuhkan kebosananmu.

"Kamu selalu menatap komputer dan itu tidak baik untuk kesehatan
matamu. Saya harus menjaga mata saya sehingga ketika nanti kita tua,
saya masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu.
Saya akan memegang tanganmu, menelusuri pantai, menikmati sinar
matahari dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna
bunga kepadamu yang bersinar seperti wajah cantikmu....

"Juga sayangku, saya begitu yakin ada banyak orang yang mencintaimu
lebih dari cara saya mencintaimu. Tapi saya tidak
akan mengambil bunga itu lalu mati...."

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi
kabur dan saya membaca kembali...

"Dan sekarang sayangku, kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika
kamu puas dengan semua jawaban ini, tolong bukakan pintu rumah kita,
saya sekarang sedang berdiri di sana dengan susu segar dan roti
kesukaanmu...."

Saya segera membuka pintu dan melihat wajahnya yang dulu sangat saya
cintai. Dia begitu penasaran sambil tangannya memegang susu dan
roti. Saya tidak kuat lagi dan langsung memeluknya dan rebah di
bahunya yang bidang sambil menangis.... (SM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar